Aku masih menandai keringnya musim lalu. Ketika perhentian yang kuinginkan kiranya hanya dermaga semu. Fatamorgana.
Sendiri,
mengamati bulir-bulir yang bertabur selaksa jarum menghunjami bumi.
Basah... Lalu meruapkan aroma yang...entahlah. Aku sendiri tak tahu,
kenapa aku suka sekali membaui aroma tanah basah. Yang pasti, sensasinya
menyegarkan. Sekejab saja. Lalu setelahnya, hanya dingin yang merambati
kulitku. Menusukkan gigil dalam tiap pori-pori tubuhku.
Beranjak?
Oh..tidak! Aku selalu ingin menikmati ini hingga hujan usai. Menyisakan
rinai kecil, menabuh daun-daun agloenema di sudut beranda. Menyisir
kristal-kristal mungil di anak rambutku, juga di meja kayu coklat tua.
Lalu kuusap bayang redup pada kaca-kaca yang basah.
Penantian,
adalah hembus yang kutiupkan pada semangkuk minuman panas berisi biji
bunga lotus dan klengkeng kering. Lalu kusesap getir manis hangat lewat
kecup bibirku.
***
"Hujan, adalah ranggasnya langit setelah diterjang kemarau," begitu katamu saat rintik-rintik kecil mengganggu pertemuan kita.
Dan,
matamu masih saja terpaku pada hujan yang dengan mudah menghapus jejak.
Padahal, baru sesaat tadi kita menari-nari, melepas rindu di atas
rumput. Sesekali kau katakan "Aku cinta padamu!" Pernyataan yang selalu
ingin kudengar namun tak pernah lantang kuucapkan.Pernyataan yang
memberi resapan hangat, di saat yang sama membuatku semakin menggigil.
Aku
tahu, takdirlah yang sengaja menggiringmu, agar aku percaya bahwa tak
ada kata terlambat untuk sebuah ketetapan. Dan kau adalah ketetapan yang
kuharapkan, seperti hujan yang menghapus musim lalu.
Aku
tak pernah memimpikan, tidak juga membayangkan. Bertemu denganmu,
seorang pria yang juga menyukai hujan. Lelaki hujan, begitulah aku
menyebutmu.
Dan
saat-saat seperti ini, kita hanya menatap hujan. Selalu seperti itu,
berdekatan dalam diam. Tanpa pernah ingin tahu, apa yang ada dalam
benakmu, juga padaku. Hanya suapan-suapan kecil minuman hangat biji
bunga lotus dan klengkeng kering yang mengisi kekosongan. Kegemaran yang
tanpa sengaja kutularkan padamu.
Dan
rintik sepertinya mulai lelah menemani keterpakuan kita. Perlahan kamu
melangkah ke tepian beranda, menjulurkan tangan, menengadahkannya ke
langit. Seolah memohon dan tak rela hujan meninggalkanmu begitu saja.
"Esok pasti kembali!" ujarku pelan.
Kamu hanya melirik dan tersenyum. Namun itu adalah magnet yang menarik langkahku untuk bersama menyusuri sisa-sisa hujan.
Dingin.
Sepi.
Lalu aku tenggelam dalam hangatnya pelukmu.
Mungkin itu, sebab aku menyukai hujan. Dalam hujan kita membaur.
***
HSW_VP