Kamis, 26 September 2013

Ayam Taosi

Waktunya makan siang nich, sobat Pawon. Ada menu apa? Bingung ya? hehehe
Kalau saya sih, sejak pagi dah punya angen-angen mau masak yang satu ini.
Masih inget soal taosi khan? Itu tuh, asinan kedelai hitam.
Dulu saya pernah meng-updatenya dalam resep Chicken wing Taosi.
Kali ini saya pengen membuat dengan cara yang beda, masih ayam juga sih, :)
Tapi dengan tambahan Cabe merah, supaya pedasnya agak terasa.

13793895471297856375
Mari kita mulai saja...

Bahan :
1 lembar fillet ayam, buang kulit, iris kotak
Paprika warna-warni, iris kotak
1 buah cabe merah, buang isi, rajang halus


Bumbu :
2 siung bawang putih, cincang halus
3 lembar jahe, rajang halus
2 sdt taosi, cincang kasar

Saos pengental :
1 sdt saos tiram
1/2  sdt minyak wijen
Merica bubuk
Garam
Gula
Air secukupnya

Caranya :
1. Bumbui ayam dengan merica bubuk, garam dan bawang putih cincang.
Diamkan. Goreng dengan sedikit minyak hingga kuning keemasan.
Tiriskan.
2. Tumis paprika hingga agak layu, tiriskan.
3. Panaskan minyak, tumis bawang putih, jahe dan taosi hingga harum.
Masukkan ayam dan paprika, aduk rata.
4. Tambahkan saos pengental, cicipi, angkat.
5. Sajikan selagi hangat.
Dan hasiilnyaaa...nich!

1379390528249125736
Selamat mencoba, salam.
Gambar : dokumen pribadi

Lelaki Hujan Dan Biji Bunga Lotus

Aku masih menandai keringnya musim lalu. Ketika perhentian yang kuinginkan kiranya hanya dermaga semu. Fatamorgana.

Sendiri, mengamati bulir-bulir yang bertabur selaksa jarum menghunjami bumi. Basah... Lalu meruapkan aroma yang...entahlah. Aku sendiri tak tahu, kenapa aku suka sekali membaui aroma tanah basah. Yang pasti, sensasinya menyegarkan. Sekejab saja. Lalu setelahnya, hanya dingin yang merambati kulitku. Menusukkan gigil dalam tiap pori-pori tubuhku.

Beranjak? Oh..tidak! Aku selalu ingin menikmati ini hingga hujan usai. Menyisakan rinai kecil, menabuh daun-daun agloenema di sudut beranda. Menyisir kristal-kristal mungil di anak rambutku, juga di meja kayu coklat tua. Lalu kuusap bayang redup pada kaca-kaca yang basah.

Penantian, adalah hembus yang kutiupkan pada semangkuk minuman panas berisi biji bunga lotus dan klengkeng kering. Lalu kusesap getir manis hangat lewat kecup bibirku.

***
"Hujan, adalah ranggasnya langit setelah diterjang kemarau," begitu katamu saat rintik-rintik kecil mengganggu pertemuan kita.

Dan, matamu masih saja terpaku pada hujan yang dengan mudah menghapus jejak. Padahal, baru sesaat tadi kita menari-nari, melepas rindu di atas rumput. Sesekali kau katakan "Aku cinta padamu!" Pernyataan yang selalu ingin kudengar namun tak pernah lantang kuucapkan.Pernyataan yang memberi resapan hangat, di saat yang sama membuatku semakin menggigil.

Aku tahu, takdirlah yang sengaja menggiringmu, agar aku percaya bahwa tak ada kata terlambat untuk sebuah ketetapan. Dan kau adalah ketetapan yang kuharapkan, seperti hujan yang menghapus musim lalu.
Aku tak pernah memimpikan, tidak juga membayangkan. Bertemu denganmu, seorang pria yang juga menyukai hujan. Lelaki hujan, begitulah aku menyebutmu.

Dan saat-saat seperti ini, kita hanya menatap hujan. Selalu seperti itu, berdekatan dalam diam. Tanpa pernah ingin tahu, apa yang ada dalam benakmu, juga padaku. Hanya suapan-suapan kecil minuman hangat biji bunga lotus dan klengkeng kering yang mengisi kekosongan. Kegemaran yang tanpa sengaja kutularkan padamu.

Dan rintik sepertinya mulai lelah menemani keterpakuan kita. Perlahan kamu melangkah ke tepian beranda, menjulurkan tangan, menengadahkannya ke langit. Seolah memohon dan tak rela hujan meninggalkanmu begitu saja.

"Esok pasti kembali!" ujarku pelan.
Kamu hanya melirik dan tersenyum. Namun itu adalah magnet yang menarik langkahku untuk bersama menyusuri sisa-sisa hujan.

Dingin.
Sepi.
Lalu aku tenggelam dalam hangatnya pelukmu.
Mungkin itu, sebab aku menyukai hujan. Dalam hujan kita membaur.
***
HSW_VP

Ritmik Sunyi

sama seperti detik
maka kubiarkan diriku berdetak
mengguncang  seluruh dinding dengarmu
mengisi setiap rongga dadamu dengan dentum
memancing rasa-rasamu berdenyar bergeletar
seperti ketuk-ketuk hujan diujung dahan
menarikan geliat  jiwa kesendirian
menunggumu segera datang
seperti bening air
ijinkan aku merunut mengalir
dalam setiap batang-batang buluhmu
memenuhimu dengan kesegaran tak terperi
menghadirkan setiap kesejukan yang kau ingini
menelisik segala ruang-ruang hatimu
dengan kelembutan dan kasih
yang tak terganti
hingga musim memajang sunyi
pada sepenggal bait yang terulis rapi
untuk sebait cinta dan rindu
yang entah kapan sampai ke hatimu

Cermin Diri

sekali waktu duduklah di hadapannya
tenggelam dalam pengamatan
sekian tanya terlontarkan
tanpa perlu jawaban
tentang sampai kapan
bersembunyi di balik kepalsuan
mengandalkan gincu-gincu memoles tutur
dan pipi yang terbalur tebal pupur
apalagi yang hendak kau sembunyikan pada jaman?
bukankah ngilu di tulangmu itu  satu penanda
bukankah kerut di garis matamu telah sejujurnya bicara
waktu memang tak pernah berdusta
bahwa setiap hal ada masanya
bijakkah meleburkan bayangan yang dia pantulkan
demi sebuah pengakuan kedirian
bahwa kita tidaklah seperti yang dia tampilkan
sibuk menutupi kepala ketika muncul uban
atau warna-warni yang kau lulurkan
demi sebuah penyamaran
ayolah...
apa yang kau peroleh dalam semu
tidakkah lebih baik menikmatinya
selagi kita bisa
sesuai dengan porsinya
dan biarkan nurani memenuhimu
dengan segenap jawabannya.

Menuliskan Pemahaman dan Pengalaman

Menulis sebenarnya bisa dilakukan dengan tema apa saja, seperti pengalaman, pemahaman, kritik atau sekadar keluh kesah (curhat). Menarik atau tidak, tergantung bagaimana cara mengemasnya. Kendati demikian, masalah yang kerap dihadapi dalam menulis, adalah ketiadaan ide. Atau mungkin sudah ada ide, tapi tak bisa mengawalinya. Hal itu pun sebenarnya bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja.

Minggu, 30 Juni 2013

Bunga Tanjung



sudah tiba hitungan detik untuk menyudahi juni
berkantung kenang terbungkus pecahan bulan
demi ikrar pada  senja yang berwajah
: sejahtera

masih aku berkaca resah dalam sunyi yang menghilir
sementara wangi bunga tanjung semakin tandang
dan decak riuh menanjung di ujung perhelatan

lantas, bagaimana kuakali waktu yang telah raib
sedangkan ribuan kenang bukanlah agunan
pun janji yang tergadai menagih punah
: menyerahkah?

pasti kubongkar patrian pijak yang bercendawan
meski perjalanan tertunda ribuan langkah
terlalu dini berserah pasrah

doakanlah,
sebab wangi bunga tanjung sepastinya tandang

Sajak Kita

Satu sore langit kemerah-merahan
Menggulung mega berarak

Di teras kita duduk bersama
matamu lekat pada buku yang kau baca
dan aku menikmati ranting-ranting 
menari memangkas angin
Riuh rendah kanak-kanak
dengan celoteh mereka

Satu waktu kita berjalan beriring
melibas kerikil tajam dan onak tanpa alas kaki
dalam jemari rapat menggenggam

Jalanan ini laksana sebuah buku
yang kita lalui lembar demi lembarnya
mengecup luka ataupun mengulum rindu

Dan puisi selalu menjadi penandanya
bahwa cinta tengah membangun istananya.

Ku retas prosa sederhana bersamamu
tentang wajah teduh tenang
tentang mata sendu berlumur rindu

Dalam terawang melukis langit
dengan phrase yang sahaja

Sayangku..
aku selalu mengingat bisikmu

segala yang indah,
memang tak harus ditunjukkan dengan bermegah.